Tuesday, 18 November 2008

Menelusuri jejak anggota keluarga

Photo disamping adalah R. Djoko Sulistio, kami para keponakan memanggil beliau om / pakde Lis. Beliau adalah anak ke-5 dari R. Widjanarko Sastrowidjoko.
Photo ini diambil sekitar tahun 1977.
Om Lis meninggal pada tahun 1992 dan dimakamkan di pemakaman umum daerah Sorosutan Yogyakarta.
Semasa hidupnya beliau bekerja di Pabrik Gula Madukismo dan tinggal di perumahan PG. Madukismo.
Setelah pensiun beliau tinggal di Sorosutan Yogyakarta.
Om Lis menikah dengan bulik Djoejie. Pernikahan beliau tidak dikaruniai keturunan. Sebagai seorang lelaki yang menginginkan keturunan / anak dari darah dagingnya, maka beliau menikah lagi dengan seorang wanita dikenal dengan panggilan “mbak Tatik”; berdasarkan penuturan beberapa orang saudara, diantaranya: kanda H. Teguh Slamet Rahardjo (putra sulung RR. Isbandinah), Budi Santosa (putra ke-3 RR. Siti Napsijah) dan bulik Purwanti (putri sulung RR. Srijati Soenardi / adik R. Widjanarko Sastrowidjoko), dari pernikahan tersebut lahir 2 orang anak, bernama Iin (putri) dan Rudi (putra).
Sejak meninggalnya om Lis, komunikasi kami dengan keluarga beliau menjadi renggang, baik dengan bulik Djoejie maupun dengan bulik Tatik dan kedau saudara sepupu kami.
Komunikasi terakhir pada tahun 2000, adik kami: Budi Santosa berkunjung ke rumah bulik Tatik di Jalan Srigunting V, Kerten Solo; saat itu Iin berusia sekitar 11 tahun (kelas 6 SD) dan adiknya sekitar 8 tahun (kelas 3 SD). Di lingkungan tersebut, bulik kami dikenal sebagai “mbak Tatik makelar tanah”.
Sebagaimana kedua anak beliau adalah trah Sastrowidjoko, maka kami berkewajiban untuk mencari dan menemukan mereka. Semoga setelah 8 tahun berlalu bulik Tatik dan kedua saudara sepupu kami tidak pindah tempat tinggal; sebagai wakil keluarga besar Sastrowidjoko adik kami Yulianto Joko Pangarso, demikian juga adik kami Budi Santosa merencanakan untuk berkunjung ke alamat terakhir mereka.
Kami akan mencari mereka sampai ketemu. Semoga Tuhan Yang Maha Kasih memberi petunjuk. Amin

Monday, 17 November 2008

Menelusuri Jejak Leluhur (bagian II - Selesai)

Desember 2005 – setelah tiga tahun delapan bulan ayahanda kami wafat – dalam suatu kesempatan saya bersama anak-istri mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah, perjalanan yang kami beri nama: “wisata silaturahmi 2005”, memiliki agenda utama memperkenalkan sanak saudara yang tinggal di Semarang, Yogyakarta, Klaten dan Solo kepada anak-anak kami, dan menelusuri jejak leluhur ke kraton Solo.

Dalam penelusuran jejak leluhur, kami mengunjungi Kraton Surakarta Hadiningrat di kota Solo. Setelah melihat-lihat kraton, kami mengahadap bagian Kusumowandowo yang dipimpin oleh Pengageng yang bernama: Drs. KGPH. Koesoemojoedo. Bagian inilah yang mencatat kerabat kraton / tedhak turun dalem.

Pada saat mengahadap saya diterima oleh staff Kusumowandowo dengan ramah dan menggunakan bahasa Jawa halus sebagai bahasa pengantar. Kemudian saya sampaikan maksud dan tujuan saya menghadap – yaitu melacak jejak leluhur – sambil saya tunjukan bagan silsilah yang saya salin dari buku Sorosilah Trah Singomargono lan Trah Sastrowidjoko. Setelah diteliti, mereka mengatakan bahwa silsilah R. Widjanarko Sastrowidjoko alur dari Majapahit – Mataram – Surakarta sesuai dengan catatan yang ada di keraton, namun mereka tidak bisa begitu saja mencatat saya dan anak-anak sebagai kerabat keraton; mereka membutuhkan dokumen tambahan, yakni data otentik yang menjadi sumber penyusunan bagan silsilah - cukup photo copy katanya. Berhubung saat itu saya tidak membawa, maka dengan sopan mereka meminta saya kembali untuk membawa bukti otentik yang menjadi sumber penyusunan bagan silsilah yang saya buat agar saya dan anak-anak serta saudara yang lain bisa dicatat dalam buku besar kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai tedhak turun dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono III.

Pada akhir Januari 2006 pada acara pertemuan Silaturahmi Keluarga Besar Sastrowidjoko di Kaliurang dalam rangka memperingati ulang tahun Ibunda Isbandinah yang ke-80, saya sengaja membawa photocopy buku Sorosilah Trah Singomargono lan Trah Sastrowidjoko untuk melanjutkan kembali rencana yang tertunda. Namun, ada ungkapan mengatakan:”Manusia boleh merencanakan, tetapi Tuhan yang menentukan”.

Karena waktu yang sempit, saya tidak sempat berkunjung ke Keraton Surakart Hadiningrat. Akhirnya saya minta tolong Robby Martono (putra ke-2 RR. Kadarijah) untuk melanjutkan rencana yang tertunda. Dan setelah proses tersebut dilakukan, pihak keraton mengakui bahwa bagan silsilah yang saya susun adalah sesuai dengan catatan yang ada di keraton. Dan sebagai langkah lanjutan supaya kita dicatat / didata sebaga tedhak turun dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono III, maka ada formulir yang harus diisi, dilengkapi dengan copy KK dan pas photo untuk mendapatkan pikukuh dalam dua bahasa: Indonesia dan Jawa.

Dan dari dasar inilah saya semakin mantap untuk melaksanakan amanah dari Ayahanda Soeprapto Singomargono. (selesai).

Thursday, 13 November 2008

Menelusuri Jejak Leluhur (bagian I)

Pada suatu kesempatan di tahun 1984, ayahanda memperlihatkan kepada saya sebuah buku tulis yang sudah terlihat kuno – dilihat dari warna sampul dan lembaran kertasnya – bertuliskan huruf Jawa yang ditulis tangan sangat rapi.

Sambil menyerahkan kepada saya beliau berkata: “Iki buku sorosilah trah Singomargono lan Sastrowidjoko” (artinya: Ini buku Silsilah trah Singomargono dan Sastrowidjoko).

Saat itu aku hanya mengamati dan membolak-balik halaman buku itu sebab kemampuanku membaca tulisan huruf Jawa sangat terbatas.

Buku silsilah Trah Singomargono dan Sastrowidjoko, berarti buku ini adalah buku silsilah keluargaku baik dari pihak bapak ataupun ibu; itulah yang aku pikirkan saat itu.

Sesaat kemudian, ayahanda menyodorkan beberapa lembar kertas folio bergaris yang berisi gambar bagan tulisan tangan, sambil berkata:”Kamu salin dan dirapikan, lalu kamu berikan kepada kangmasmu dan saudara-saudaramu yang lain”.

Bagan tersebut adalah bagan silsilah yang sudah disalin dalam tulisan latin.

Setelah membaca bagan tersebut saya berkomentar:”Ternyata saya ini ningrat to..!?”. Ayahanda menjawab:”Seseorang disebut ningrat bukan hanya karena keturunan dan/atau memiliki gelar kebangsawanan tetapi juga harus memiliki sikap ksatria dan mampu menjadi pemimpin (ratu) mulai dari memimpin diri sendiri dan keluarga”

Kemudian saya menanyakan mengapa buku tersebut berisi silsilah dua keluarga?. Ayahanda menjelaskan bahwa beliau dan ibunda adalah saudara misan.

Kimas Singomargono adalah saudara sepupu dari RR. Satarijah Sastrowidjoko. Sambil menunjukan bagan silsilah tersebut.

Delapan belas tahun kemudian, pada awal tahun 2002, ayahanda – yang sejak tahun 2000 beliau dan ibunda tinggal bersama kami – kembali memanggil saya dan menyerahkan buku silsilah keluarga sambil berkata:”Tolong simpan buku ini, dan lakukan pesan saya sewaktu kamu saya suruh salin dan rapikan bagan silsilah keluarga kita”. Saya mengiyakan, namun ada niat saya: sebelum saya bagikan kepada saudaraku, saya harus terlebih dulu melacak jejak leluhur berdasarkan buku silsilah tersebut. (bersambung)

Monday, 10 November 2008

Keluarga Raden Widjanarko Sastrowidjoko

(Photo keluarga R. Widjanarko Sastrowidjoko, 1933)

Raden Widjanarko Sastrowidjoko adalah putra sulung dari Raden Mas Sastrahastana yang adalah keturunan ke-5 / wareng dari Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono III, Raja Surakarta Hadiningrat.
Adik-adik R. Widjanarko Sastrowidjoko adalah:
- R. Irawan Dirdjoatmodjo
- RR. Bayem
- RR. Srijati
Pada tahun 1925 R. Widjanarko Sastrowidjoko mempersunting putri keenam dari Raden Ngabehi Soetohoentoro yang bernama RR. Satarijah yang lahir dari seorang wanita keturunan ke-12 dari Raden Patah, pendiri Kerjaan Islam Demak.
Dari hasil pernikahan tersebut lahir enam orang anak;

1. RR. Isbandinah
2. RR. Kadarijah
3. RR. Ismani
4. R. Joso Pradjoko
5. R. Djoko Sulistio
6. RR. Siti Napsijah

R. Widjanarko Sastrowidjoko memulai karirnya sebagai Juru Tulis Kecamatan (Sekretaris Camat), dan karir terakhir adalah sebagai Inspektur Polisi Jatinom (1949).
Hidup dan karirnya berakhir pada masa Agresi militer Belanda yang kedua. Pada masa itu beliau diculik oleh antek Belanda untuk diserahkan kepada tentara Belanda, kemudian dibunuh dan dibuang ke Sungai Bengawan Solo.
Sampai sekarang tidak pernah diketahui dimana jenasah R. Widjanarko Sastrowidjoko.
Empat puluh hari kemudian istri tercinta, R.Ngt. Satarijah Sastrowidjoko meninggal karena tidak sanggup menahan kesedihan ditinggal oleh suami.
Raden Nganten Satarijah Sastrowidjoko dimakamkan di kota Solo, lalu setelah terkena dampak penataan kota, makam beliau dipindahkan ke Bonoloyo.

10 November Hari Pahlawan

10 November, adalah tanggal istimewa bagi Bangsa Indonesia; karena pada tanggal tersebut 63 tahun yang lalu terjadi peristiwa heroik di Surabaya dimana ribuan pejuang gugur demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Saudara-saudariku keluarga besar Sastrowidjoko yang terkasih,
pada hari ini saya mengajak anda semua untuk berdoa bagi pahlawan kita, khususnya leluhur kita, Eyang Widjanarko Sastrowidjoko yang gugur pada tahun 1949 saat agresi Belanda II, dan eyang putri kita yang meninggal tidak lama kemudian





Berdasarkan penuturan ibunda Isbandinah: pada masa itu, eyang kita adalah seorang Inspektur Polisi Jatinom dan salah satu tokoh masyarakat yang dikenal luas oleh masyarakat dari daerah Klaten sampai Solo karena sepak terjangnya memerangi kejahatan, dan seorang yang tidak pernah mau berkompromi dengan penjajah.
Ketika tentara belanda masuk kota Solo pada agresi II, penjara di Solo dibuka, sehingga semua tahanan dan narapidana melarikan diri.
Dan pada saat itu, beberapa narapidana dari penjara Solo dipakai oleh Belanda untuk menculik eyang kita (eyang kita adalah tokoh yang berpengaruh di daerah Jatinom pada masa itu yang bisa menghalangi masuknya Belanda ke daerah Klaten).
Sejak saat itu, beliau tidak pernah kembali, dan berdasarkan informasi anak buah beliau kepada keluarga, dikatakan bahwa eyang kita dibawa oleh antek Belanda untuk diserahkan kepada tentara Belanda, kemudian dibunuh dan dibuang ke Sungai Bengawan Solo.
Empat puluh hari kemudian eyang putri kita: R.Ngt. Satarijah Sastrowidjoko meninggal karena tidak sanggup menahan kesedihan ditinggal oleh suami tercinta.
Eyang putri kita juga seorang tokoh masyarakat yang dikenal di daerah Jatinom sampai Klaten, beliau adalah aktifis dan salah satu pengurus perkumpulan wanita Muhamadiyah (Aisyah ?) di daerah tersebut.





Ibunda Isbandinah pernah memberi pesan: "Jika kamu punya kesempatan untuk berkunjung ke makam pahlawan dimanapun, berdoalah di pusara pahlawan tidak dikenal, siapa tahu salah satu dari pusara itu adalah pusara eyang kamu".

Saudara-saudariku,
Marilah kita berdoa untuk leluhur kita, semoga mereka sudah mendapat kebahagiaan abadi di Surga.
Mari kita teladani keteguhan dan sikap hidup mereka yang berjuang untuk keluarga dan bangsa.

HIDUP ADALAH PERJUANGAN, MAKA MARILAH KITA BERJUANG UNTUK HARI ESOK YANG LEBIH BAIK.

Salam kasih persaudaraan
J. Nur Wahyudi

Catatan: Sampaikan kisah keteladanan dan semangat juang leluhur kita ini kepada anak cucu.